Halo, sobat UMKM! Sudah tau belum kalau pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, saat ini pelaku UMKM di Tanah Air mencapai angka 60 juta. Jumlah tersebut diprediksi terus bertambah seiring dengan kemajuan teknologi dan potensi sumber daya manusia yang semakin berkembang.
Bukan rahasia umum lagi jika sebuah usaha pasti akan mengalami sebuah masalah, begitu juga dengan UMKM. Dari sekian banyak permasalahan UMKM yang terjadi di Indonesia, 5 permasalahan di bawah ini yang paling sering ditemui. Namun, jangan Anda jadikan permasalahan ini sebagai penghalang melainkan sebuah tantangan yang harus dilalui demi kelangsungan usaha Anda sendiri.
Berikut ini adalah 5 masalah yang sering terjadi pada UMKM, antara lain :
- Masalah Permodalan
Permasalahan UMKM yang paling sering ditemui adalah modal yang terbatas. Para pelaku UMKM mungkin saja memiliki banyak ide bisnis untuk mengembangkan usahanya, namun harus terhenti karena tidak adanya modal tambahan. Jika ditelusuri ke belakang, banyak pelaku UMKM yang kesulitan untuk mendapatkan modal tambahan dari lembaga keuangan dikarenakan banyaknya persyaratan yang belum terpenuhi. Hal ini senada dengan hasil survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers, yang mana 74% UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan. - Masalah Perizinan
Bukan rahasia umum lagi jika banyak UMKM di Indonesia yang belum memiliki badan hukum yang jelas. Tidak adanya izin usaha resmi mendatangkan efek domino bagi pelaku UMKM karena akan menghambat laju usaha mereka sendiri, salah satunya saat ingin mengajukan modal. Sehingga sulit bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan usaha mereka menjadi lebih besar lagi.
Untuk itu, sebaiknya Anda sudah mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang diterbitkan berdasarkan domisili usaha. Keberadaan SIUP penting dimiliki oleh pelaku UMKM agar usaha yang dijalankan memiliki bukti yang sah dari pemerintah. Perihal SIUP diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/2009 tentang Perubahan Atas Permendag No. 36/2007 mengenai Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
- Rendahnya Kesadaran untuk Membayar Pajak
Selain perizinan, regulasi lain yang kerap diabaikan oleh pelaku UMKM adalah soal pembayaran pajak. Dari sekitar 60 juta pelaku UMKM di Indonesia, hanya 2,5% saja atau sekitar 1,5 juta pelaku UMKM yang melaporkan pajaknya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pelaku UMKM paham akan cara menghitung pajak yang menjadi kewajiban mereka. Efek terburuk yang bisa menimpa pelaku UMKM adalah usaha mereka bisa mengalami gulung tikar karena modal yang ada habis dipakai untuk membayar sanksi pajak yang telat dibayarkan.
Pemerintah pun menurunkan tarif PPh Final atau yang sering disebut sebagai pajak UMKM dari 1% menjadi 0,5% yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Selain itu, yang menjadi WP adalah mereka dengan usaha yang memiliki omzet sampai dengan Rp4,8 miliar dalam satu tahun.Kebijakan penurunan tarif ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik lagi.
- Kurangnya Inovasi
Jumlah UMKM di Tanah Air yang terus bertambah bagai 2 sisi mata uang. Di satu sisi, geliat masyarakat Indonesia yang tinggi dalam membuat bisnis sendiri sangat baik dalam membantu mendorong perekonomian nasional. Di sisi lain, banyak juga yang mendirikan usaha hanya karena ikut-ikutan tren atau latah.
Alasan terakhir inilah yang membuat banyak pelaku UMKM jalan di tempat dalam mengembangkan usahanya karena minimnya inovasi. Akhirnya banyak usaha yang hanya bertahan selama 1-2 tahun, kemudian bangkrut karena produk atau jasa yang ditawarkan tidak kuat atau kalah bersaing. Banyak pelaku UMKM di Indonesia yang hanya menjalankan bisnis berdasarkan ikut-ikutan tanpa melihat potensi diri yang dimilikinya.
Tidak mengherankan jika produk UMKM lokal yang berhasil menembus pasar internasional terbilang masih sedikit. Jika dibandingkan dengan produk sejenis dari negara luar, produk UMKM Indonesia kalah saing baik dari segi kualitas dan harga. Produk yang lahir dari latah atau ikut-ikutan tren ini tidak muncul dari konsep yang matang dan memiliki kemiripan satu sama lain dengan produk sejenis. Di awal, permintaan dan barang ditawarkan sama-sama banyak, namun lama-kelamaan permintaan menjadi turun karena konsumen yang sudah bosan dengan barang sejenis.
- Pelaku UMKM masih Gagap Tekhnologi
Perkembangan teknologi yang terjadi sekarang ini melahirkan geliat ekonomi digital yang justru membawa banyak manfaat bagi pelaku UMKM, tidak hanya dalam memasarkan produknya tetapi juga memudahkan proses produktivitas para pelaku UMKM. Kehadiran saluran marketplace dan media sosial membuka peluang bagi pelaku UMKM dalam mengenalkan produk mereka ke ranah yang lebih luas. Selain itu, produktivitas pegiat UMKM semakin lebih mudah dan efisien berkat adanya perkembangan teknologi, mulai dari melakukan pembukuan secara digital, membayar pajak melalui sistem aplikasi, dan lain-lain.
Salah satu faktor yang menjadi kendala adalah tidak meratanya penyebaran informasi di Tanah Air yang menyebabkan munculnya virus gaptek ini. Selain itu, generation gap antara pelaku UMKM yang diwakilkan oleh generasi X dan pelaku UMKM dari generasi milenial melahirkan jarak soal permasalahan UMKM ini.
Baca juga : Digitalisasi UMKM
Ada baiknya pelaku UMKM di usia muda turut mengajarkan atau memberikan penyuluhan terkait teknologi terkini terhadap pelaku UMKM di usia senior. Mereka yang lebih tua juga diharapkan tidak segan untuk bertanya mengenai update terkini di dunia bisnis.
Nah itu dia penjelasan terkait masalah yang kerap terjadi pada UMKM. Jika sobat masih merasa kebingungan, sobat bisa terlebih dahulu download aplikasi MPStore untuk membantu memberi arahan dan perkembangan pada bisnis yang sobat lakukan dengan kancah digital.